Afganistan Sinis, Taliban Siap Hantam Pasukan Baru Obama
Rabu, 2 Desember 2009 19:09 WIB
TEMPO Interaktif, Kabul -Penasihat Politik Kepresidenan Afganistan, Segbatullah Sanjar mengatakan upaya Amerika Serikat menambah 30 ribu personel pasukan ke negaranya adalah upaya 'mimpi indah'.
Pasalnya, target utama Amerika menyelesaikan konflik delapan tahun di Afganistan terlalu singkat. "Hanya 18 bulan lalu bermimpi dapat menyelesaikan konflik yang memporakporanda negara ini? Kami saja delapan tahun tak juga beres, apalagi pihak luar," ungkap Sanjar.
Sementara dari pihak Taliban, melalui jurubicaranya menyatakan menyambut gembira keputusan yang dilansir Presiden Barack Hussein Obama tersebut. "Menambah pasukan berarti mengirim target baru untuk kami hantam. Obama menambah minat sukarelawan yang sudah berbondong-bondong mendaftar ikut kelompok kami," kata pernyataan juru bicara Taliban berupa elektronik yang diterima Al Jazeera.
Namun menurut laporan pidato pimpinan pasukan Amerika Serikat di Kabul, Jendral Stanley McCrrystal misi pasukannya ke Afganistan memiliki dua tujuan. Pertama dan yang utama adalah melawan terorisme, lalu kedua, melawan kelompok pemberontak.
Hal tersebut terungkap dari kutipan Stanley yang hanya menyebut Taliban dua kali saja. Selebihnya Stanley banyak menyebut misinya adalah untuk memburu jaringan al Qaidah yang ditengarai berada dibelakang peristiwa 11 September 2001.
Mantan Perdana Menteri Afganistan, Ahmad Shah Ahmadzai mengaku kecewa dengan keputusan penambahan pasukan Amerika ke Afganistan. "Menambah pasukan bukan solusi bagi konflik Afganistan. Saya sudah minta dia tunda keputusan itu dua bulan lagi tapi tampaknya dia lebih suka menambah korban dari kedua belah pihak," ungkapnya, Rabu (2/12).
Dalam pidatonya, Obama juga menawarkan kerjasama antara pihaknya dengan Pakistan. Militer Pakistan, dalam pidato Obama tersebut diberi tugas untuk berupaya membantu pasukan Amerika serta menyeret Taliban ke perundingan damai.
Analis senior lembaga intelijen Amerika Serikay CIA, Bruce Riedel mengatakan keputusan Obama tersebut merupakan terapi kejut bagi Afganistan. "Perang Afganistan menjadi preseden dan kini menjadi perangnya Obama," tutur Riedel.
ALJAZEERA.NET/ANGIOLA HARRY