Partai Kongres India: PM Narendra Modi Berlakukan Keadaan Darurat Diam-diam
Editor
Iwan Kurniawan
Selasa, 25 Juni 2024 19:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Kongres Nasional India (INC), Mallikarjun Kharge, menuduh Perdana Menteri India Narendra Modi telah memberlakukan “darurat yang tidak diumumkan” di negara tersebut dengan membungkam perbedaan pendapat dan menutup kebebasan berbicara. Reaksinya muncul beberapa jam setelah Modi, pemimpin Partai Bharatiya Janata (BJP), mengecam Kongres pada peringatan 50 tahun Keadaan Darurat pada Selasa, 25 Juni 2024.
Modi mengatakan bahwa INC pimpinan Rahul Gandhi tidak punya hak untuk menyatakan cinta mereka kepada konstitusi sehubungan dengan Keadaan Darurat. “Mereka yang memberlakukan Keadaan Darurat tidak punya hak untuk menyatakan kecintaan mereka pada konstitusi kita. Mereka adalah orang-orang yang sama yang telah berulang kali menerapkan Pasal 356, membuat rancangan undang-undang yang menghancurkan kebebasan pers, menghancurkan federalisme, dan melanggar setiap aspek konstitusi,” katanya, seperti dikutip Hindustan Times. Pasal 356 konstitusi India memberikan kewenangan kepada presiden untuk menerapkan keadaan darurat.
Peringatan itu merujuk pada keputusan Perdana Menteri Indira Gandhi, politikus INC, yang menyatakan keadaan darurat nasional selama 1975-1977 untuk menghadapi seruan revolusi dari beberapa kelompok. Pengumumannya dilakukan oleh Presiden Fakhruddin Ali Ahmed. Indira lalu membungkam pers dan memenjarakan tokoh-tokoh oposisi, termasuk pemimpin BJP saat itu. Putranya, Sanjay Gandhi, juga melakukan sterilisasi massal secara paksa kepada kaum miskin. Periode ini menjadi masa tergelap dalam sejarah India.
Kharge balik menuduh Modi hanya mengungkit-ungkit masa lalu. “Negara ini menatap masa depan, sementara Anda terus menggali masa lalu untuk menyembunyikan kekurangan Anda,” tulisnya di platform media sosial X.
Menurut Kharge, Modi sekarang malah diam-diam memberlakukan keadaan darurat. “Menghancurkan partai, menggulingkan pemerintahan terpilih melalui metode pintu belakang, menyalahgunakan lembaga seperti ED (Direktorat Penegakan Hukum), CBI (Biro Penyelidik Pusat), dan teknologi informasi terhadap 95 persen pemimpin oposisi, memenjarakan menteri besar, dan menggunakan kekuasaan sebelum pemilihan umum untuk mengganggu kesetaraan – bukankah ini merupakan keadaan darurat yang tidak diumumkan?” kata Kharge.
Sebelum pemilihan umum Lhok Sabha, majelis rendah parlemen India, digelar pada 19 April hingga 1 June 2024, pemerintahan Modi telah menekan oposisi dengan berbagai cara, terutama INC dan Aliansi Nasional Pembangunan Inklusif India (INDIA), aliansi partai pimpinan INC. Polisi, misalnya, menahan beberapa menteri besar dan menahan sejumlah tokoh Partai Aam Aadmi, anggota INDIA, dalam kasus dugaan korupsi kebijakan minuman keras di Delhi. Pemerintah juga membekukan rekening bank partai Kongres, yang berhubungan dengan kasus sengketa pajak pada 2018.
Mohua Moitra, anggota parlemen dari partai Kongres Trinamool Seluruh India, juga menuduh bahwa negerinya sedang mengalami “darurat yang tidak diumumkan” ketika BJP mencoba melemahkan konstitusi. “Dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi keadaan darurat yang tidak diumumkan di negara ini. BJP dan Perdana Menteri Modi telah menekan semua institusi, termasuk lembaga peradilan dan penyelidik. Pemerintahan BJP tidak hanya membungkam suara rakyat, tapi juga berupaya melemahkan Konstitusi,” katanya.
Baku serang antara Modi dan BJP dengan Kongres dan partai oposisi lain ini pecah setelah Aliansi Demokratik Nasional (NDA), koalisi partai pimpinan BJP, dan INDIA gagal mencapai konsensus dalam memilih Ketua Lok Sabha. NDA menang tipis dari INDIA dalam pemilihan Lok Sabha baru-baru ini. NDA menguasai 293 kursi Lok Sabha, sedangkan INDIA 234. Ini terjadi setelah BJP kehilangan banyak suara, setelah selalu menang besar dalam dua pemilu sebelumnya. Sebaliknya, Kongres tahun ini menang jauh lebih banyak.
Mengapa Modi dan BJP kalah dalam pemilu Lok Sabha? Baca selengkapnya: Ketika Populisme Narendra Modi di India Mulai Pudar
Pilihan editor: 83 Persen Jemaah Haji yang Meninggal Ternyata Tak Punya Visa Haji