Korban Corona Brasil Melonjak, Bolsonaro: Ini Perang
Kamis, 21 Mei 2020 13:31 WIB
TEMPO.CO, Rio De Janeiro – Wabah virus Corona di Brasil memburuk, yang membuat jumlah korban infeksi baru mencapai sekitar 20 ribu orang pada Rabu, 20 Mei 2020.
Ini membuat Brasil bisa menempati urutan kedua negara dengan jumlah korban infeksi Covid-19 terbanyak menggantikan posisi Rusia.
Situs Johns Hopkins University melansir jumlah korban terinfeksi virus Corona mencapai sekitar 292 ribu orang.
“Jumlah korban meninggal akibat virus Corona di Brasil sekitar 19 ribu orang,” begitu dilansir Reuters pada Kamis, 21 Mei 2020.
Brasil menempati urutan ketiga dunia pada Senin dengan jumlah korban terinfeksi virus Corona mengalahkan Inggris.
Sebanyak sekitar 1.200 orang meninggal setiap hari di Brasil akibat virus Corona.
Sedangkan jumlah korban terinfeksi global mencapai 1.55 juta orang dengan 328 ribu meninggal.
“Presiden Jair Bolsonaro mendapat kritik luas soal caranya mengatasi wabah ini,” begitu dilansir Reuters.
Mantan kapten tentara berhaluan politik kanan jauh ini telah menolak penerapan social distancing atau jaga jarak antar warga untuk menghindari penularan virus Corona.
Bolsonaro malah meminta ekonomi segera diaktifkan kembali lewat kegiatan bisnis.
Bolsonaro juga terus menerus mempromosikan penggunaan obat malaria chloroquine untuk mengobati Covid-19.
Padahal, ada peringatan dari sejumlah pakar kesehatan soal efektifitas obat ini.
Pada Rabu, kementerian Kesehatan mengeluarkan panduan baru untuk penggunaan obat anti-malaria itu untuk menangani gejala infeksi ringan virus Corona.
Menteri Kesehatan interim, Eduardo Pazuello, yang merupakan jenderal aktif militer, mengotorisasi penggunaan obat anti-malaria ini.
Ini terjadi setelah dua orang dokter ahli meninggalkan posisi di kementerian Kesehatan akibat tekanan menggunakan chloroquine dan hydroxychloroquine untuk menangani wabah virus Corona.
“Kita sedang berperang. Lebih buruk dari pada kalah adalah rasa malu karena tidak mencoba melawan,” kata Bolsonaro soal keputusan pemerintah untuk menggunakan obat ini meski tanpa bukti efektivitasnya.
Sikap ini mendapat kritik dari Gonzalo Vecina Neto, bekas kepala regulator kesehatan di Brasil.
Dia mengatakan langkah itu sebagai barbar dan bisa menyebabkan lebih banyak bahaya dari pada manfaat karena ada potensi efek sampingnya.
“Tidak ada bukti ilmiahnya,” kata Vecina Neto di Brasil kepada Reuters. “Tidak bisa dipercaya orang masih berpikir secara ajaib.”