Facebook Akui Sosial Media Ancaman untuk Demokrasi
Reporter
Terjemahan
Editor
Sita Planasari
Selasa, 23 Januari 2018 16:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Facebook mengakui bahwa ledakan media sosial menimbulkan ancaman potensial terhadap demokrasi.
Jaringan sosial terbesar di dunia ini berjanji mengatasi masalah tersebut dan mengubah platformnya menjadi sebuah kekuatan untuk "kebaikan".
Seperti dilansir dari Channel NewsAsia, Selasa 23 Januari 2018, tanggapan ini terkait kritik tajam terhadap Facebook yang dianggap gagal menghentikan penyebaran informasi palsu di antara dua miliar penggunanya.
Kasus penyebaran informasi palsu yang paling mencolok adalah menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016.
Dalam sebuah tulisan blog, kepala keterlibatan warga Facebook, Samidh Chakrabarti, mengatakan bahwa dia tidak buta terhadap kerusakan yang dapat dilakukan internet bahkan dalam demokrasi yang berfungsi dengan baik.
"Pada 2016, kami di Facebook terlalu lamban untuk mengenali bagaimana orang-orang jahat menyalahgunakan platform kami," katanya. "Kami bekerja dengan tekun untuk menetralkan risiko ini sekarang."
Baca juga:
Konten propaganda Rusia 'jangkau 126 juta pengguna Facebook di Amerika Serikat'
Postingan yang termasuk dalam serial pertanyaan sulit bagi petinggi Facebook - adalah bagian dari upaya Facebook untuk memperbaiki citranya.
Upaya lain Facebook yang diluncurkan pekan lalu yakni akan memberi kesempatan para penggunanya memberi peringkat terhadap sumber berita untuk membendung aliran berita palsu.
"Kami bertekad untuk melawan pengaruh negatif dan memastikan bahwa platform kami merupakan sumber kebaikan yang demokratis," kata Katie Harbath, kepala politik dan penjangkauan global Facebook, dalam sebuah pernyataan yang menyertai peluncuran upaya ini.
Facebook, bersama Google dan Twitter, menghadapi sorotan karena memfasilitasi penyebaran berita palsu. Beberapa di antaranya dilakukan oleh Rusia - menjelang pemilihan AS, pemilihan suara Brexit dan pemilihan lainnya.
Jaringan sosial telah menyimpulkan bahwa aktor Rusia menciptakan 80 ribu akun yang menjangkau sekitar 126 juta orang di Amerika Serikat selama periode dua tahun.
"Sangat mengkhawatirkan ketika sebuah negara menggunakan platform kami untuk melakukan perang siber yang bertujuan memecah belah masyarakat," kata Chakrabarti.
"Ini adalah ancaman baru yang tidak dapat kami prediksi dengan mudah, tapi seharusnya kami melakukannya dengan lebih baik. Sekarang kami mengejar ketinggalannya," katanya.
<!--more-->
Chakrabarti merujuk janji Facebook tahun lalu untuk mengidentifikasi pendukung iklan politik - sambil juga menekankan perlunya kehati-hatian. Ia memberi contoh aktivis hak asasi manusia yang dapat terancam jika mereka dikenali secara publik di media sosial.
Dia juga menjelaskan keputusan untuk membiarkan pengguna Facebook memberi peringkat "kepercayaan" dari sumber berita, dengan mengatakan, "Kami tidak ingin menjadi penguasa kebenaran, juga tidak kami bayangkan ini adalah peran yang dunia inginkan bagi kami."
Chakrabarti berpendapat bahwa pencegah terbaik pada akhirnya adalah menjadi publik yang cerdas.
Rencana Facebook untuk memberi peringkat pada organisasi berita berdasarkan survei "kepercayaan" pengguna telah menarik tanggapan beragam.
Renee DiResta dari kelompok nirlaba Data for Democracy optimistis. "Ini adalah berita bagus dan sudah lama dinantikan. Google telah melakukan pemeringkatan untuk kualitas sejak lama. Agak membingungkan mengapa butuh waktu lama bagi jaringan sosial untuk melakukan ini," tulisnya di Twitter.
Namun kolumnis teknologi Shelly Palmer memperingatkan bahwa Facebook tampaknya menyamakan kepercayaan dan kebenaran dengan apa yang masyarakat yakini - yang oleh beberapa orang disebut "wikiality".
" Wikiality adalah jawaban Facebook atas berita palsu, fakta alternatif, dan kebenaran," tulis Palmer. "Facebook, raksasa media sosial, akan membiarkan Anda memberi peringkat pada berita yang menurut Anda paling benar. Apa yang mungkin salah?"
Baca juga:
Bos Facebook Minta Maaf atas Kesalahan di Pemilu Presiden 2016
Bagi penulis media Matthew Ingram, perubahan ini tidak hanya tidak akan memperbaiki masalah 'berita palsu,' tapi sebenarnya bisa memperburuknya.
"Mengapa? Karena informasi yang keliru hampir selalu lebih menarik daripada kebenaran," tulisnya dalam Columbia Journalism Review.
Pendiri dan ketua eksekutif News Corp Rupert Murdoch juga menyatakan skeptisisme. Ia justru menyarankan agar Facebook membayar kantor berita terpercaya, mengikuti contoh operator TV kabel.
"Saya tidak ragu bahwa Mark Zuckerberg adalah orang yang tulus. Namun masih ada kekurangan transparansi yang harus diperhatikan dan kekhawatiran bias politik di platform Facebook ini," kata Murdoch dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kelompoknya.