TEMPO.CO, Ikom - Ketika Grace Tchami mulai menunjukkan tanda-tanda pubertas pada usia 9 tahun, ibunya yang berusaha untuk melindungi gadis kecil itu mulai melakukan penyiksaan. Setiap pagi, Tchami mengambil salah satu batu berat yang digunakan untuk menggiling makanan kemudian membakarnya hingga panas. Batu berat yang panas itu digunakan untuk menekan payudara Grace agar rata.
Di dapur kecil beratap bambu di belakang rumah, Grace ingat ibunya melakukan cara itu setiap hari selama tiga bulan. Kakak Grace akan memegang kakinya sehingga dia tidak bisa lari. Dalam keadaan sakit akibat siksaan, Grace harus berangkat ke sekolah dasar.
Kisah remaja 16 tahun itu terjadi di Kota Ikom, Nigeria selatan. Dia mengatakan telah mendapat bekas luka permanen dan masih mengalami trauma. Grace mengakui ibunya melakukan itu untuk membuat anak laki-laki tak menginginkannya. Dengan demikian, ia dapat terhindar dari hamil pada usia muda.
Grace tidak sendirian mengalami penyiksaan itu. Setrika payudara juga telah berlangsung selama bertahun-tahun di Kamerun. Namun tradisi yang sudah lama hilang itu kini kembali hidup di tengah masyarakat Kamerun untuk menjaga anak perempuan mereka dari tangan ekstremis brutal Boko Haram.
Dalam laporan hak asasi manusia Kamerun tahun 2014, yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, setrika payudara disamakan dengan praktek yang lebih umum dari mutilasi alat kelamin perempuan. "Prosedur ini untuk meratakan payudara seorang gadis muda dengan batu panas, panci besi, atau batu bata. Memiliki konsekuensi fisik dan psikologis berbahaya, yang meliputi nyeri, kista, dan abses," demikian menurut laporan HAM yang dikutip dari laman The Daily Beast, 1 Desember 2015.
Ternyata, tradisi setrika payudara tak hanya terjadi di Kamerun. PBB menyatakan tradisi setrika payudara telah diderita sekitar 3,8 juta wanita di seluruh dunia. Sedangkan pers lokal di Kamerun melaporkan bahwa hingga 50 persen anak perempuan menjalani prosedur yang sangat menyakitkan itu setiap hari.
Para pengamat mengatakan setrika payudara awalnya dilakukan dengan anggapan dapat meningkatkan air susu ibu. Namun pikiran itu kemudian berubah ketika kasus pemerkosaan dan kehamilan remaja merajalela. Para ibu mulai melakukan setrika payudara kepada anak perempuan mereka agar tidak menarik hasrat laki-laki untuk melakukan pelecehan seksual terhadap si anak.
Ironinya, tradisi setrika payudara kebanyakan dialami remaja perempuan dari keluarga miskin. Sedangkan remaja-remaja putri dari keluarga kaya mengenakan sabuk lebar untuk menekan payudara mereka agar tidak bertumbuh. Namun dua cara itu sama-sama menyiksa para remaja putri dan meninggalkan trauma panjang.
THE DAILY BEAST | MECHOS DE LAROCHA