TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Bela Negara Kementerian Pertahanan Laksamana Pertama M. Faisal menegaskan bahwa program bela negara yang diluncurkan pemerintah adalah program terpadu dari sepuluh kementerian, bukan hanya Kementerian Pertahanan. Semua kementerian sudah menandatangani nota kesepahaman untuk memastikan berjalannya program ini.
"Inisiatif Kementerian Pertahanan ini adalah bagian dari revolusi mental," kata Faisal, ketika dihubungi, Selasa, 13 Oktober 2015. "Kami sudah punya MOU dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama," kata Faisal lagi.
Petinggi kementerian ini menegaskan bahwa program bela negara ini bukanlah program baru. "Pada 2014, kami telah menyusun pedoman pembentukan kurikulum yang mendukung program bela negara," kata Faisal. Pedoman tersebut, katanya, telah diserahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Faisal mengakui Kementerian Pertahanan memegang peran kunci dalam mengorganisasikan program ini. "Kami menyiapkan pembina dan menyiapkan standar pelatih," kata Faisal.
Dia membantah kalau program ini akan menjadi alat menyuburkan kembali militerisme. "Semua kami ajak ramai-ramai, kami juga bekerja sama dengan pemerintah daerah. Kerja sama bukan tanggung jawab Kemenhan saja," kata Faisal.
Ia mengatakan bela negara harus dipahami sebagai sikap dan perilaku warga negara yang didasari kecintaan terhadap negara. Kewajiban bela negara, kata dia, diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara 1945.
"Tujuan ini untuk keselamatan bangsa dan negara, konteksnya luas, seperti membebaskan negara dari narkoba," kata Faisal.
Selain konstitusi, Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002 juga menjelaskan bahwa setiap orang punya hak dan kewajiban bela negara. Ini diwujudkan dalam empat poin, yakni: "Ada pendidikan kewarganegaraan, ada pelatihan dasar militer wajib, menjadi TNI, dan pelatihan sesuai profesi masing-masing," kata Faisal.
ARKHELAUS WISNU