TEMPO.CO, Ankara - Ledakan bom bunuh diri bersamaan dengan unjuk rasa damai di Ibu Kota Ankar pada Sabtu, 10 Oktober 2015, bakal mengguncang situasi politik menjelang Turki menggelar pemilihan umum 1 November 2015. Aksi mematikan sedikitnya 97 orang itu memunculkan ketakutan warga Turki.
Ledakan bom paling berdarah di Turki tersebut mengakibatkan terjadi polarisasi di negeri itu di tengah upaya Presiden Recep Tayyip Erdogan mencoba meraih kemenangan mayoritas di parlemen.
"Kita sekarang ini berhadapan dengan persoalan yang belum terpetakan dalam kekerasan di Turki," tulis Omer Taspinar dari Brookings Institution di Today's Zaman, sebuah surat kabar oposisi. "Kita juga berhadapan dengan polarisasi di negara ini."
Turki telah menderita akibat didera berbagai kekerasan sejak Juli 2015 ketika sebuah bom bunuh diri melumat nyawa 33 warga Turki dan aktivis Kurdi di dekat sebuah kota perbatasan dengan Suriah menyusul berakhirnya gencatan senjata Turki-Kurdi. Pemberontak Kurdi menyalahkan pemerintah, sejak itu kekerasan berlanjut menyebabkan ratusan orang meninggal.
Serangan mematikan juga menyasar jantung ibu kota -jauh dari pusat konflik berdarah di daerah perbatasan sebelah selatan Turki. Insiden ini menimbulkan ketakutan di seluruh wilayah Turki.
Para pengamat mengatakan, serangan bom hanya membuat hasil pemilihan parlemem kurang meyakinkan. Artinya, stabilitas pemerintahan akan tergantung kepada kemampuan partai politik membentuk koalisi dan bekerja sama. Namun hal itu sulit terwujud sebab situasi di Turki terlanjur terpolarisasi.
Penentang pemerintah, termasuk kelompok pro-Partai Kurdi yang anggotanya turut unjuk rasa, menuding pemerintah dan Erdogan bertanggung jawab atas ledakan bom mematikan sedikitnya 97 orang dan melukai ratusan orang di Ankara, Sabtu, 10 Oktober 2015. Sementara itu, unjuk rasa yang berlangsung kemarin, Senin, 12 Oktober 2015, ratusan demonstan serempak meneriakkan slogan "Negara pembunuh akan dimintai pertanggungjawaban!"
Perdana Menteri Ahmet Davutoglu menolak dituduh sebagai "orang paling berbahaya" atau "pengecut." Dia juga menampik anggapan bahwa ledakan bom itu sebagai respon atas keterlibatan Turki dalam perang di Suriah atau pemerintah menyeret negara ke dalam rawa Timur Tengah.
"Serangana bom ini tidak akan mengubah Turki menjadi Suriah," ucap Davutoglu.
Hingga saat ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas ledakan bom pada Sabtu, 10 Oktober 2015, tetapi Davutoglu mengatakan tim investigasi berhasil mengidentifikasi salah satu dari dua pelaku bom bunuh diri.
Dia menerangkan, kelompok negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) adalah prioritas nomor 1 dalam investigasi namun dia tidak mengesampingkan kemungkinan Partai Pekerja Kurdi berada di balik ledakan bom tersebut.
PHILLY.COM | CHOIRUL AMINUDDIN