TEMPO.CO, Depok - Pekan Hak Asasi Manusia (HAM) yang digelar di Universitas Indonesia, Depok, pada 15-20 September 2015 menghadirkan korban pelanggaran HAM asal Korea Utara. Salah satunya Kim Hyeok, 32 tahun, yang pernah ditahan di Jeongeori, Korea Utara.
Dia menuturkan lahir di Kota Chungjin, Provinsi Hamkyeong Utara, Korea Utara. Sewaktu berumur 4 tahun, Hyeok telah ditinggal mati ibunya. Pada umur 14 tahun, giliran ayahnya yang meninggal. "Ibu saya meninggal karena sakit, tapi ayah saya meninggal karena kelaparan atau kekurangan gizi," ujarnya.
Hyeok mengungkapkan sejak umur 7 tahun menjadi pengemis di jalanan. Dia bisa bertahan sampai saat ini karena mengambil makanan sisa di jalanan. Pada 1995, dia masuk ke panti asuhan. Panti asuhan yang ada bukan untuk menampung anak-anak yang tidak memiliki orang tua, melainkan buat menampung pengemis-pengemis jalanan.
Sewaktu di panti asuhan, Hyeok bersama rekan-rekannya dilarang keluar dari panti. Di panti itu, dia juga masih mengalami kekurangan gizi. Bahkan beberapa penghuni panti meninggal karena kelaparan. "Kami diberi makanan, tapi bukan makanan untuk orang umum. Makanan itu berupa sagu, kulit, dan bubur," katanya.
Karena kondisi tak membaik, Hyeok memilih keluar dari panti asuhan dan mencoba masuk ke Cina untuk mencari makanan. Makanan pertama yang ia ambil adalah sejumlah beras dan umbi-umbian yang dibakar di jalanan. Pada waktu itu, ia tertangkap polisi perbatasan Korea Utara. "Saya dihukum selama 3 tahun dengan alasan penyelundupan dan menyeberang perbatasan tanpa izin," ujarnya.
Saat di penjara, Hyeok bersama 23 rekannya. Namun, saat keluar dari penjara, hanya tiga orang, sisanya mati kelaparan di penjara. Saat keluar dari penjara, berat badan Hyeok hanya 35 kilogram.
Setelah bebas, Hyeok mencari cara untuk masuk ke Korea Selatan. Untuk menuju Korea Selatan dari Cina, ia harus melewati gurun pasir Mongolia dengan berjalan kaki selama 18 jam. Pada 13 September 2001, dia berhasil masuk Korea Selatan. "Saat itu, segala penderitaan selama dua bulan tidak dapat digambarkan lagi dengan kata apa pun."
Di Korea Selatan, Hyeok, yang dulu menjadi pengemis, bisa menempuh kandidat PhD di perguruan tinggi di Seoul. "Bagi saya, untuk menceritakan pengalaman ini tidaklah cukup sehari-dua hari, sejam-dua jam."
ARKHELAUS WISNU