TEMPO.CO, Jakarta - Sampai detik ini, negara-negara ASEAN belum mencapai konsensus mengenai instrumen hukum mengenai pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh migran. Padahal mandat untuk membentuk instrumen tersebut telah diperintahkan kesepuluh pemimpin negara ASEAN melalui Deklarasi Cebu 2007.
Artikel 22 dalam Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh Migran yang disahkan di Cebu, Filipina, tersebut menyatakan pentingnya mengharmonisasikan hukum tenaga kerja di tingkat nasional dengan standar internasional menurut Badan Tenaga Kerja Internasional (ILO). Standar internasional tersebut meliputi kondisi kerja dan kehidupan, penegakan standar tenaga kerja, kontrak tenaga kerja, dan lain-lain.
“Perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran baru akan efektif bila ASEAN sudah punya kerangka hukum yang mengikat,” kata Rafendi Djamin, wakil Indonesia dalam ASEAN Intergovernmental on Human Rights (AIHCR), badan yang diberi mandat membuat instrumen hukum tersebut, selain Komite ASEAN.
Padahal tenggat untuk membentuk instrumen itu sudah dekat, yakni sebelum Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN akhir tahun ini. Rafendi mengingatkan jika tidak juga tercapai konsensus, maka para pemimpin ASEAN akan mengambil alih dengan langkah-langkah terobosan. “Seperti apa langkah terobosannya, akan sulit diperkirakan,” kata Rafendi dalam debat publik Menuju Masyarakat ASEAN Pasca 2015 yang Berpihak pada Buruh Migran, yang digelar di Erasmus Huis, Jakarta, Senin, 29 Juni 2015.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Lalu Muhammad Iqbal menegaskan kemacetan instrumen hukum di ASEAN tidak menyandera perbaikan di tingkat nasional. Meski demikian dia mendorong instrumen hukum tersebut dan menyatakan Indonesia tidak akan menerima instrumen yang tidak mengikat secara hukum. “Jika tidak mengikat, Indonesia akan mengembalikan mandat ke civil society, dan untuk mendorong bagi negara-negara yang tidak menginginkan sebuah dokumen yang mengikat secara hukum,” kata Iqbal dalam acara yang sama.
Saat ini jumlah penduduk ASEAN 650 juta. Dari jumlah tersebut 148 juta di antaranya berpendapatan kurang dari US$ 2 per hari dan 28,8 juta lagi berpendapatan kurang dari US$ 1. Situasi di ASEAN mengindikasikan bahwa tenaga kerja irregular dan tidak berdokumen sangat dominan. Dengan wanita sebagai buruh migran yang paling rentan.
Dari sekitar 1.254.991 buruh migran yang tidak berdokumen, 1.250 ribu di antaranya berada di Malaysia. Dan dari sekitar 14 juta buruh migran yang ada di ASEAN, lima juta di antaranya berasal dari Indonesia.
Dokumen yang mengikat itu sangat penting apalagi mengingat berbagai permasalahan masih merundung para buruh migran. Tantangan yang ada mulai dari perekrutan di desa-desa, kabupaten hingga provinsi, dan penempatannya, yang rawan terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Iqbal menyatakan moratorium yang sedang diberlakukan pemerintah Indonesia pun membawa dampak negatif jika road map-nya tidak jelas. “Jika keran regular ditutup, maka keran irregular akan bertambah besar,” kata Iqbal. Dia mencontohkan selama enam bulan terakhir saja direktoratnya menangani 400 kasus perdagangan manusia.
NATALIA SANTI