TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan karang beting di Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan membuat beberapa negara melontarkan kecaman. Tidak saja negara-negara yang memiliki klaim tumpang tindih seperti Filipina dan Vietnam, tetapi juga Amerika Serikat. Lalu, bagaimana sikap Indonesia terhadap hal itu?
Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koodinator Bidang Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno menyatakan yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan bukan reklamasi tanah, melainkan pembuatan pulau artifisial atau pulau buatan.
“Yang dilakukan Tiongkok di Laut Cina Selatan bukan land reclamation atau reklamasi tanah, karena tidak ada tanah, yang ada adalah karang dan beting,” kata Havas lewat pesan singkatnya kepada Tempo, Kamis, 25 Juni 2015, ketika ditanya posisi Indonesia terkait konflik yang terjadi di kawasan tersebut akibat pembangunan yang dilakukan Cina.
Konvensi Hukum Laut Internasional, United Nation Convention Law of the Sea 1982, tidak mengakui pulau buatan sebagai pulau yang memiliki wilayah, laut zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.
Meski demikian, menurut Havas, pembangunan pulau buatan itu tidak sesuai dengan kesepakatan antara Cina dengan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja, pada 4 November 2002.
“Pembangunan pulau buatan secara masif ini tidak sesuai dengan DOC,” lanjut Havas lewat pesan pendeknya. Saat pesan disampaikan Havas sedang berada di Shanghai, Cina untuk menjadi pembicara utama dalam seminar International Marine Economy: Law and Policy.
Deklarasi yang dikenal sebagai DOC tersebut berisi komitmen dari negara anggota ASEAN dan Cina untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati kebebasan navigasi di Laut China Selatan, menyelesaian sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.
Deklarasi tersebut juga menjadi pedoman bertindak bagi negara anggota ASEAN dan Cina menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah yang menjadi sengketa dengan semangat kerja sama dan saling percaya.
Karena itu, menurut Havas, Indonesia bersama-sama negara-negara ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Malaysia pada April 2015 lalu menyerukan kepada Cina untuk menghentikan pembangunan di Laut Cina Selatan tersebut.
NATALIA SANTI