TEMPO.CO, Yangon - Presiden Myanmar U Thein Sein telah menandatangani undang-undang yang mengharuskan ibu-ibu di Myanmar untuk menunda kehamilan dalam tiga tahun ke depan meski ada keberatan dari diplomat AS dan kelompok aktivis HAM.
"Aturan baru tersebut bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi," kata pemerintah dilansir di laman Al-Jazeera.
Undang-undang, yang disusun, diyakini di bawah tekanan biksu Buddha garis keras, disahkan oleh parlemen bulan lalu dan disetujui oleh Presiden Thein Sein pada Sabtu, 23 Mei 2015.
Baik AS maupun kelompok aktivis HAM khawatir aturan baru tersebut bisa digunakan tidak hanya untuk menekan perempuan, tetapi juga agama dan etnis minoritas.
Wakil Menteri Luar Negeri AS Blinken menyatakan keprihatinannya yang mendalam tentang aturan baru tersebut . "Undang-undang memiliki ketentuan yang dapat mengabaikan hak-hak reproduksi, hak-hak perempuan, dan kebebasan beragama," kata Blinken.
"Kami prihatin aturan tersebut dapat memperburuk perpecahan etika dan agama, dan merusak upaya negara untuk mempromosikan toleransi dan keberagaman," sambungnya.
Hal yang sama juga dikatakan Khin Lay dari kelompok aktivis hak-hak perempuan. "Ini sangat mengecewakan," kata Khin Lay. "Jika pemerintah ingin melindungi perempuan, mereka harus memperkuat hukum yang sudah ada dengan menerapkan itu."
Kebebasan berekspresi yang baru muncul di Myanmar telah disalahgunakan untuk mengkampanyekan kebencian pada umat Islam minoritas, Rohingya.
Aturan kependudukan baru tersebut dikatakan memberi pemerintah daerah kekuasaan untuk menetapkan pedoman jarak kelahiran di daerah dengan tingkat pertumbuhan penduduk tinggi.
Kelompok garis keras Buddha diketahui telah berulang kali memperingatkan bahwa muslim, dengan angka kelahiran yang tinggi, bisa mengambil alih negara meski saat ini mereka hanya 10 persen dari total populasi penduduk Myanmar.
AL JAZEERA | MECHOS DE LAROCHA