TEMPO.CO, Jakarta - Dunia tengah dihebohkan dengan pengungsi Rohingya yang kesulitan mendapat tempat bermukim setelah melarikan diri dari konflik di Myanmar. Kritik pedas pun mulai bermunculan terhadap Aung San Suu Kyi, pemimpin pro-demokrasi Myanmar dan aktivis hak asasi manusia.
Pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwana, menilai sikap Suu Kyi ini karena ia memikirkan kesatuan Negara Myanmar. "Saya lihat pemerintahannya sendiri sudah tak menghendaki orang-orang Rohingya. Masyarakatnya juga begitu," kata Hikmahanto saat dihubungi Tempo pada Minggu, 24 Mei 2015.
Karena itu, sikap Suu Kyi ini dinilai mewakili suara seluruh masyarakat Myanmar. Suu Kyi mewakili kesatuan negaranya.
Pemerintahan semimiliter Myanmar menyebut Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh. Lebih dari 120 ribu Rohingya harus hidup di kamp kumuh karena dipaksa meninggalkan rumahnya oleh pemeluk Buddha. Sebanyak kurang-lebih 25 ribu orang membayar pedagang manusia untuk membawa mereka menyeberangi Teluk Benggala pada awal tahun ini.
Direktur Studi Keamanan Internasional Bangkok Thitinan Pongsudhirak memahami tindakan Suu Kyi yang mendiamkan Rohingya. Pongsudhirak menilai Suu Kyi membutuhkan suara dari kelompok Buddha agar partainya dapat memenangi pemilu Myanmar November mendatang.
"Mayoritas penduduk Myanmar tak menyukai Rohingya, Suu Kyi enggan membela Rohingya karena akan menghalangi ambisinya memenangi pemilu," tutur Pongsudhirak kepada Sidney Morning Herald.
Namun, menurut Hikmahanto, alasan politik ini tak menyebabkan diamnya Suu Kyi. "Saya kira tidak. Dia sudah pernah dikritik soal ini, dan sudah membantah," ujar Hikmahanto.
Pada Desember 2014, Suu Kyi pernah berkata kepada Washington Post bahwa sikap diamnya bukan tanpa alasan. "Saya tidak diam karena alasan politis. Saya diam karena pihak mana pun yang saya bela, darah akan selalu tertumpah. Jika saya membela hak asasi manusia, Rohingya hanya akan menderita," ucap penerima hadiah Nobel Perdamaian itu.
SIDNEY MORNING HERALD | MOYANG KASIH | URSULA FLORENE