TEMPO.CO, Bandar Seri Begawan - Pegiat hak asasi manusia internasional mengecam pemberlakuan pidana syariah Islam yang mulai diterapkan di Brunei Darussalam kemarin. Mereka menyebut tindakan Brunei, negara pertama yang menerapkan hukum ini di Asia Timur, sebagai langkah mundur bagi perlindungan hak asasi manusia.
“Hal itu merupakan langkah otoriter menuju hukuman abad pertengahan yang brutal dan tidak memiliki tempat di zaman modern abad ke-21,” ujar Wakil Direktur Human Right Watch untuk Asia, Phil Robertson, Kamis, 1 Mei 2014.
Kelompok Human Rights Campaign di Amerika Serikat, yang mendorong persamaan hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender, turut mengecam perubahan-perubahan tersebut sebagai kejam. Kelompok itu mengatakan hukuman mati terhadap pelaku hubungan seks sesama jenis di Brunei adalah mengerikan dan menjijikkan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April lalu juga mendesak Brunei menunda perubahan sehingga mereka bisa meninjau hukum tersebut untuk memastikan apakah memenuhi standar hak asasi manusia internasional. PBB menyebut hukum pidana Brunei ini dapat mendorong kekerasan lebih lanjut dan diskriminasi terhadap perempuan.
“Di bawah hukum internasional, merajam orang sampai mati merupakan penyiksaan, tidak manusiawi, atau merendahkan orang, sehingga jelas dilarang,” kata juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville.
Sultan Brunei Hassanal Bolkiah mengatakan ia tidak berharap komunitas internasional menerima aturan tersebut. Namun ia mendesak mereka menghormati keputusan yang dibuat Brunei. Sultan berusia 67 tahun itu menepis anggapan bahwa hukuman yang diterapkan kejam. “Teori menyatakan hukum Allah keji dan tidak adil, tapi Allah sendiri mengatakan hukumnya jelas adil,” katanya.
REUTERS | BBC | BRUNEI TIMES
Baca juga:
Pengusaha Brunei Minati Agrobisnis Indonesia
Disangka Teroris, Daniel Sitorus Ditahan Brunei
Terpopuler:
Buruh Perusahaan Prabowo Tagih Tunggakan 4 Bulan Gaji
Dosa Hary Tanoesoedibjo pada Hanura
5 Kebiasaan yang Menyebabkan Perut Buncit