TEMPO.CO, Jakarta - Dua warga Korea Utara yang berhasil melarikan diri ke Korea Selatan mengungkapkan berbagai kekejaman yang dialami mereka saat hidup di kamp tahanan politik. Mereka memberikan kesaksian dalam acara Pekan Hak Asasi Manusia Korea Utara di Museum Galeri Cemara 6, Menteng, Jakarta Pusat, Senin malam, 28 April 2014.
"Kami, para tahanan di Gwalliso (kamp politik) nomor 18, tidak mengerti arti HAM (hak asasi manusia). Hidup kami lebih buruk daripada anjing," kata Hye Sook-kim, 50 tahun. (Baca: Pekan HAM Korea Utara Dibuka 28 April Ini)
Selama 28 tahun, Hye Sook-kim hidup dalam Gwalliso nomor 18. Ia bersama tujuh anggota keluarganya, termasuk suami dan anak-anaknya, tinggal di kamp itu. Saat pertama kali dijebloskan ke kamp, usianya 13 tahun.
Kamp itu, ia menjelaskan, dikelilingi pagar setinggi 4 meter dan dijaga oleh petugas keamanan. Selama ini Gwalliso dikenal sebagai daerah pertambangan yang dijadikan sebagai kamp tahanan dengan menerapkan kerja paksa selama 16 jam sehari. (Baca: Gempuran Korea Utara Memaksa Penduduk Mengungsi)
Tahanan perempuan di kamp, ujar dia, ditempatkan di kandang atau area pembangkit listrik untuk memindahkan batu bara. Di sana, kata dia, banyak korban yang meninggal akibat pneumonia dan kehilangan anggota badan akibat beratnya bekerja di pertambangan.
Menurut cerita Hye Soo-kim, sebelum dirinya melarikan diri dari Korut pada 2008, penghuni kamp masih ada 17-18 ribu. Sedangkan jumlah pengaman bertambah menjadi sekitar 3.000 ribu. (Baca:Surat Fax Korea Utara Ini Jadi Ancaman Buat Korsel)
Setiap tahanan diawasi agen penjaga keamanan yang biasa disebut Aanjeonbu. Tempat itu terletak di dalam gunung dengan jalan tanpa pengeras. Setiap seminggu sekali, para tahanan diminta untuk mengingat Sepuluh Prinsip Pendirian Suatu Sistem Ideologi.
"Penjaga sangat kejam, dan agen akan meludahi ketika melihat tahanan datang ke arah mereka. Setiap tahanan yang datang sering diminta untut berlutut dan membuka mulut yang diludahi para tentara. Bila tak mau menelan ludah, para tahanan akan dipukul dan disiksa dengan sadis," kata Kim. (Baca: Korea Utara Punya Teknik Rumit untuk Kelabui Sanksi PBB)
Eunju-kim, warga Korea Utara juga berhasil melarikan diri keluar dari Korea Utara bersama ibunya, saat ditahan usianya 20 tahun. Setibanya di Korea Selatan pada 2006, ia berharap kebebasan di negaranya dapat segera terwujud sesegera mungkin.
Menurut Eunju, setiap tahanan mengalami penyiksaan, penindasan, dan kesengsaraan di kamp tahanan. Aparat Korea Utara tidak menganggap penting perlindungan HAM. Pemerintahan di negara itu bahkan memandang warganya sebagai orang buangan.
"Orang-orang yang memerintah di Pyongyang sangat jahat," kata Eunju, yang kelahiran Eundeok, Provinsi Hamkyeong Utara, Korea Utara. Saat ini negaranya juga menghadapi kelaparan. Selain itu, Korea Utara sangat tertutup dari pemberitaan dunia luar. (Baca: PBB Kumpulkan Bukti Kekejaman Pemimpin Korea Utara)
HADRIANI P. | RINA ATMASARI
Terpopuler:
PPP Tarik Dukungan, Prabowo Lempar Ponsel
Puluhan Orang Tua Siswa JIS Mengaku Terganggu KPAI
Indonesia Protes Pemerintah Republik Cek