TEMPO.CO, Jakarta - Pernah bertugas sebagai duta besar Portugis di Indonesia pada 2000 hingga 2003, Ana Maria Gomes bisa melihat gejolak negara ini di awal masa transisi. Politisi perempuan kelahiran Lisbon, 9 Februari 1954 ini menilai masa transisi Indonesia punya kemiripan dengan Portugis: sama-sama menghadapi banyak masalah dan kesulitan. Ia juga melihat Indonesia kerap dipahami secara salah dan bias di Eropa. "...karena itu saya merasa berkewajiban untuk berkontribusi, untuk memberi perspektif yang positif, konstruktif, dan tidak membiarkan persepsi yang salah tentang Indonesia," kata anggota Parlemen Uni Eropa sejak tahun 2004 ini kepada Natalia Santi, Seulki Lee, dan fotografer Dasril dari Tempo, di sebuah hotel di Bundaran Hotel Indonesia, 7 Mei lalu. Berikut petikan wawancaranya.
Apakah ada misi khusus dalam kedatangan ke Indonesia kali ini?
Parlemen Uni Eropa akan segera mengadopsi resolusi soal kerja sama dan kemitraan Uni Eropa-Indonesia, yang sekarang sedang diratifikasi oleh parlemen 27 negara Uni Eropa, dan perlu juga diratifikasi oleh Parlemen Uni Eropa. Saya ditugaskan untuk menulis draft laporan tersebut. Tentu saja saya senang dan ingin melakukannya untuk meloloskan kesepakatan tersebut agar bisa digunakan untuk mengembangkan hubungan Eropa dengan Indonesia.
Baca Juga:
Bagaimana ceritanya sehingga Anda dipilih untuk tugas itu?
Saya pernah menjadi duta besar Indonesia, dan juga karena saya meyakini, sebagai teman sekaligus fans berat Indonesia, yang pernah berada dalam proses demokratik Indonesia, tentu saja saya dalam posisi yang lebih baik ketimbang anggota lain yang tidak tahu banyak tentang Indonesia. Saya datang karena penting untuk berinteraksi dengan organisasi masyarakat sipil, pemerintah, dan parlemen, untuk mendapatkan pandangan dari mereka, soal apa saja tantangan di Indonesia sekaligus kesempatan yang muncul dalam hubungan kita, mulai dari perdagangan, ekonomi, dan investasi secara resiprokal.
Berapa banyak anggota Parlemen Uni Eropa yang punya pandangan seperti Anda? Bagaimana umumnya pandangan anggota Parlemen soal Indonesia?
Saya merasa terhormat pernah berada di sini sejak 1999 hingga 2003, dan untuk kembali lagi melihat awal transisi Indonesia menuju demokrasi, dan pernah melihat juga transisi demokrasi di negara saya tahun 1974, dan saya melihat banyak hal yang mirip. Banyak masalah dan kesulitan.
Ketika saya kembali ke Eropa setelah tinggal di Indonesia, saya merasa sangat terkejut dan kecewa karena sedikitnya pengetahuan tentang Indonesia di Eropa. Juga betapa pentingnya peran Indonesia di kawasan dan dunia serta tantangan yang dihadapi Indonesia dalam proses demokratik ini.
Banyak sekali ketidakpedulian dan karena itu saya merasa berkewajiban untuk berkontribusi, untuk memberi perspektif yang positif, konstruktif, dan tidak membiarkan persepsi yang salah tentang Indonesia.
Apa saja persepsi yang salah tersebut?
Misalnya masalah Papua. Yang saya tahu ini masih menjadi tantangan. Saya tahu dalam masalah ini secara khusus ada sekelompok orang di Eropa, di sejumlah negara, yang punya perhatian khusus terhadap Papua, akan memberikan persepsi yang salah, lalu mengajukan ide-ide radikal. Menurut saya, kami perlu memberikan pandangan yang lebih seimbang dan konstruktif, untuk memberikan kerangka berpikir yang tepat, karena dengan ketidakpedulian terhadap Indonesia, hal ini masih sulit dilakukan.
Saya tidak mungkin 'menaruhnya di bawah karpet'. Kalau itu saya lakukan, maka pandangan kelompok yang bias dan tidak konstruktif akan muncul. Harus ada perspektif yang mengakui pencapaian besar yang sudah dilakukan pemerintah, masyarakat, dan tantangan yang masih harus dihadapi.
Selain Papua, juga masalah Ahmadiyah, yang tidak saja menyangkut toleransi keagamaan, ini juga masalah penegakan hukum. Saya tidak mau ada pandangan negatif yang tidak adil terhadap Muslim Indonesia. Juga soal pembatasan terhadap perempuan di Indonesia, serta peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan.
Bagaimana Anda nanti akan menjawab jika ada pertanyaan soal Papua atau Ahmadiyah?
Di sini saya bertemu dengan beberapa orang di sini untuk membantu menjawab pertanyaan itu. Tapi saya juga percaya di Parlemen Indonesia sendiri ada beragam persepsi. Saya bertemu dengan beberapa anggota yang mempertanyakan masalah Papua, tetapi mereka seperti sangat kesal dengan apa yang terjadi di Inggris (Pembukaan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris, 28 April--red). Mereka katakan tidak ada masalah di Papua.
Kesalahan persepsi seperti ini yang ingin saya hindari. Memang ada masalah yang harus diselesaikan, ini masalah yang besar bagi Indonesia. Kita perlu Indonesia sebagai kisah sukses. Sebagai negara Islam demokratis, kelompok minoritas lainnya hidup dengan nyaman. Seberapapun sulitnya masalah Papua, saya yakin Parlemen Uni Eropa tidak ingin mempermalukan Indonesia.
Anda yakin akan mendapatkan banyak orang yang seide di Parlemen Uni Eropa?
Saya harap demikian. Saya akan membuat laporan, teman saya juga akan membuat laporan. Siapa saja bisa berkontribusi, dan kita akan melalui sebuah proses, sebelum di-vote.
Kalau Indonesia kurang dikenal di Eropa, apakah kinerja diplomat Indonesia kurang maksimal?
Duta besar terbaik Anda di Brussels adalah teman baik saya. Dia excellent. Duta besar Anda dan duta besar saya sudah melakukan banyak hal, namun ada batasnya. Banyak hal yang harus dilakukan terutama dalam meningkatkan people to people contact dan parlemen to parlemen contact.
Mengapa Uni Eropa menarik dukungan pencalonan menteri asal Indonesia Mari E. Pangestu sebagai Direktur Jenderal WTO?
Uni Eropa tidak meragukan kemampuan Mari E. Pangestu, tapi sayangnya dalam organisasi internasional ada giliran kawasan. Dan kali ini jatuh pada Amerika Latin, yang juga mengajukan calon yang kuat dan baik. Terus terang saya kecewa juga karena saya ingin melihat Mari E Pangestu yang terpilih, dan saya sebenarnya juga melobi untuk itu. Tapi ada faktor lain, dan bukan berarti Uni Eropa tidak menyukai Mari Pangestu atau tidak menginginkan Indonesia.
Saya yakin kalau saatnya untuk Asia, Uni Eropa bakal memilih Mari Pangestu. Dulu, ketika Sekretaris Jenderal PBB ditawarkan ke kawasan Asia, saya menelepon beberapa teman di Indonesia, kenapa tidak mengajukan calon. Sayang, Indonesia malu-malu, tidak mau mengajukan kandidat. Padahal, menurut saya, Erna Witoelar waktu itu cocok. Dia perempuan berpengalaman.
Tahun 2002, Anda mengatakan akan menulis buku tentang Indonesia. Bagaimana hasilnya?
Sayangnya belum. Padahal saya sangat ingin sekali. Nanti kalau sudah tidak menjadi anggota Parlemen Uni Eropa, rencana itu akan saya lanjutkan.