TEMPO.CO, Pyongyang - Korea Utara memutus jalur komunikasi militer terakhir yang tersisa dengan Korea Selatan, Rabu 27 Maret 2013. Pyongyang menuduh Presiden Korea Selatan Park Geun-hye mengikuti kebijakan garis keras seperti pendahulunya yang disebut Pyongyang sebagai penyebab berkepanjangannya ketegangan dua Korea.
Di tengah ketegangan paska uji nuklir ketiga Korea Utara bulan lalu dan keluarnya sanksi PBB, Pyongyang telah menutup hotline Palang Merah dengan Korea Selatan dan jalur komunikasinya dengan komando militer Amerika Serikat di Korea Selatan.
Dibanding sebelumnya, pemutusan hotline militer hari ini dianggap lebih berdampak serius oleh Seoul. Sebab, kedua Korea telah menggunakan empat saluran telepon itu untuk mengontrol lalu lintas pekerja dan kargo yang setiap hari melintas ke kota di perbatasan Korea Utara, Kaesong.
Kedua negara menjalankan kawasan industri bersama di Kaesong, yang menjadi simbol terakhir kerjasama dua Korea yang selamat dari ketegangan politik dua negara dalam beberapa tahun terakhir. Para pejabat Seoul mengatakan, 887 pekerja Korea Selatan berada di Kaesong.
Hingga Rabu, kata pejabat Korea Selatan, lalu lintas di perbatasan itu masih berjalan normal. Ini menunjukkan bahwa militer Korea Utara tidak melangkah jauh dengan menghentikan pertukaran ekonomi lintas-perbatasan itu.
Sebelum penutupan saluran itu, Pyongyang sudah mengirim pesannya kepada Seoul. "Tidak ada lagi saluran dialog dan komunikasi yang berarti antara DPRK dengan AS dan antara Utara dan Selatan," kata pernyataan dari Korea Utara yang dikirim ke militer Korea Selatan melalui telepon dan kemudian disiarkan oleh kantor berita resmi Korea Utara.
"Tidak kata-kata, hanya senjata yang bisa berfungsi bagi AS dan 'pasukan boneka'-nya, Korea Selatan," kata pernyataan itu. DPRK adalah singkatan dari Republik Demokratik Rakyat Korea, nama resmi Korea Utara.
Tindakan Korea Utara ini dilakukan sehari setelah pemimpin militer Korea Utara memerintahkan semua rudal dan unit artilerinya untuk berada di tingkat "kewaspadaan tertinggi" dan siap untuk menyerang Amerika Serikat dan Korea Selatan. Korea Utara juga juga berjanji untuk mengambil "tindakan militer substansial" untuk membalas latihan militer gabungan AS-Korea Selatan, yang melibatkan pesawat pengebom Amerika B-52 di atas Korea Selatan.
Ancaman ini merupakan bagian dari ketegangan di Semenanjung Korea setelah Korea Utara melakukan ujicoba peluncuran roket Desember tahun lalu, dan ujicoba nuklirnya yang ketiga pada 12 Februari 2013 lalu. Dewan Keamanan PB mengeluarkan resolusi baru, memperketat sanksi terhadap Pyongyang akibat dua ujicoba ini.
Bukannya mematuhi resolusi, Pyongyang malah mengancam akan menyerang AS dan Korea Utara. Korea Utara menilai dua negara ini yang aktif menggalang adanya resolusi baru untuk menekan Pyongyang, yang disebutnya sebagai bentuk sikap permusuhan.
New York Times | Abdul Manan