TEMPO.CO, Jakarta - Senin ini, 10 September 2012, adalah peringatan 64 tahun berdirinya Korea Utara. Sejak Perang Dunia II berakhir, Korea memang terbelah menjadi dua wilayah yang masing-masing dikuasai Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Kini, upaya untuk menyatukan kedua saudara yang terpisah itu terus terjadi.
Membelotnya ratusan, mungkin ribuan, orang Korea Utara ke Korea Selatan jadi salah satu pemicunya. Kisah Kim Hye-sook ini adalah salah satu contoh bagaimana penduduk di kedua Korea sebenarnya sudah lama ingin bersatu. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Kim ketika perempuan tangguh 49 tahun ini berkunjung ke Jakarta, Agustus lalu.
Bagaimana ceritanya Anda bisa ditahan di kamp tahanan Korea Utara?
Pada 1970, ketika saya masih hidup di Pyongyang, orang tua saya dibawa ke kamp tahanan politik (selanjutnya disebut Gwalliso) dengan alasan yang tidak saya ketahui. Lima tahun kemudian, ketika saya berusia 13 tahun, saya juga dibawa dari rumah nenek saya ke Gwalliso Nomor 18 di Provinsi Pyongyang Selatan. Saya ditahan di sana selama 28 tahun.
Apa yang terjadi ketika Anda tiba di Kamp?
Bibi saya yang mengantarkan saya ke Gwalliso No. 18. Di sana, saya menunggu selama 16 jam di depan Gwalliso sampai ibu saya diizinkan keluar menemui saya. Sudah lima tahun saya tidak melihatnya. Ketika ibu muncul, saya hampir tidak mengenalinya. Dia tampak sangat letih dan lemah. Waktu itu, saya baru tahu bahwa ayah saya sudah meninggal dunia.
Ibu mempersiapkan apa ketika Anda datang ke kamp?
Meski di kamp, ibu saya menyiapkan makan malam khusus untuk kedatangan saya. Ada beberapa bahan makanan yang belum pernah saya lihat sebelumnya, seperti dedaunan liar, rumput, dan segenggam penuh tepung jagung. Saya sangat kelaparan setelah perjalanan yang panjang, tetapi makanan yang disajikan terasa pahit. Kami biasa makan nasi dan tepung di Pyongyang, jadi makanan pahit itu melukai tenggorokan saya.
Apa kegiatan Anda dan keluarga di kamp?
Ibu saya bekerja di pertanian. Tahanan lain bekerja di tambang atau jadi pemotong kayu. Kami semua menerima jatah ransum 15 hari per bulan. Ransumnya berupa jagung kering, 4 sampai 4,5 kilogram saja. Sangat sedikit untuk makan, bahkan sekali sehari. Jadi, kami makan jagung selama 15 hari, selebihnya mencari apa adanya. Kami jadi lemas, bahkan tidak bisa berjalan keliling kamp. Anak-anak kecil usia 9 tahun tubuhnya kecil, seperti anak 5 tahun di negara lain.
Apa yang terjadi kemudian?
Pada Mei 1979, ibu saya meninggal karena terjatuh di tebing. Saya akhirnya menerima tanggung jawab untuk merawat keluarga. Akhirnya, saya bekerja di tambang supaya keluarga kami tetap mendapat jatah ransum. Tak lama, nenek saya juga meninggal, dan orang-orang mulai mencari barang-barang kami.
Tidak ada cukup keamanan untuk pekerja tambang?
Pertambangan di sana dibangun seadanya dan sangat berbahaya. Adik laki-laki saya tewas juga di tambang ketika dia berusia 21 tahun. Kecelakaan tambang sangat sering terjadi, tapi aparat jarang sekali memperhatikan. Jasad adik laki-laki saya sampai sekarang tidak bisa ditemukan.
MARIA HASUGIAN