TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejak Revolusi 17 Februari meletus di Benghazi, Libya, tokoh oposisi Yahudi keturunan Libya di London, Raphael N. Luzon, terus memantau perkembangan di tanah airnya itu. Kabar menggembirakan itu akhirnya datang juga. Setelah dua basis pertahanan pasukan Muammar al-Qaddafi di Sirte dan Bani Walid jatuh ke tangan pemberontak.
“Saya sangat gembira kapan pun sebuah kediktatoran berakhir,” kata lelaki 57 tahun ini kepada Tempo, Senin, 17 Oktober 2011. Sebuah perasaan wajar bagi korban kekerasan anti-Yahudi.
Luzon bersama orang tuanya terpaksa meninggalkan harta mereka di Benghazi setelah diusir dari negara itu pada 1967. Sentimen anti-Yahudi menguat di Libya setelah perang Enam Hari yang membuat Israel menguasai Tepi Barat dan Jalur Gaza. Delapan kerabatnya (paman dan istri serta enam anaknya) tewas.
Ketika itu, ia masih 13 tahun. Setelah tinggal sementara di kamp pengungsi, ia bersama orang tuanya pindah ke Roma dan tinggal di sana selama 27 tahun. Sejak 1995-2001 ia menetap di Israel. Ia pernah menjadi direktur sebuah rumah sakit jompo di Tel Aviv (Israel) dan produser senior di stasisun televisi berita Italia, RAI. Kini ia bermukim di Eropa dan menjadi manajer sebuah perusahaan.
Berikut penututran Raphael Luzon, pria 54 tahun kelahiran Benghazi, kepada Faisal Assegaf:
Bagaimana perasaan Anda melihat rezim Qassadi akhirnya berakhir?
Saya sangat gembira kapan pun sebuah kediktatoran berakhir. Sejak kami diusir dari Libya pada 1967, saya selalu memimpikan terjadinya perubahan rezim. Jadi sekarang saya senang itu bisa terjadi.
Anda merasa terkejut?
Tentu saja karena beberapa bulan sebelumnya saya berada di Libya. Saya diundang oleh Qaddafi sebagai tamu kehormatan pada peringatan Hari Kkemerdekaan (tiap 24 Desember). Saya melihat saat itu situasi Libya sangat tenang dan tidak ada tanda-tanda akan terjadi pemberontakan.
Anda mengatakan ditawari posisi di pemerintahan sementara Libya. Bisa jelaskan soal itu?
Dua tokoh oposisi di London datang ke rumah saya dan meminta saya bertarung pada pemilihan umum mendatang (Presiden Dewan Transisi Nasional Mustafa Abdul Jalil telah menetapkan pemilu bakal digelar dalam delapan bulan ke depan). Saya senang karena itu peristiwa bersejarah. Itu bakal menjadi yang pertama kali sebuah negara Arab mengizinkan seorang Yahudi ikut dalam pemilu. Di Israel mereka biasa melihat orang-orang Arab ikut pemilu dan parlemen Israel beranggotakan orang-orang Arab dan muslim.
Apakah Anda siap bertarung dalam pemilu nanti?
Jika Libya benar-benar menjadi sebuah negara bebas dan demokratis, tentu saja saya akan menerima permintaan itu.
Apakah Anda berniat pulang ke Libya setelah era Qaddafi berakhir?
Tentu, saya ingin menjadi bagian dari Libya dan kembali aktif di tanah air saya.
Apakah Anda percaya orang-orang Yahudi bisa diterima kembali di Libya?
Saya bukan seorang nabi, tapi saya berharap Libya menerima kembali orang-orang Yahudi keturunan Libya datang dan tinggal di sana. Jangan lupa, komunitas Yahudi sudah ada di Libya selama 2.000 tahun, hampir 1.350 tahun sebelum kedatangan bangsa Arab.
Bagaimana Anda menangani masalah harta dan tanah warga Yahudi yang dirampas setelah Qaddafi berkuasa?
Ini masalah serius. Jika pemerintahan baru Libya sudah terbentuk, kami harus membahas dan merundingkan persoalan itu.
Apakah Anda sebelumnys sempat membahas isu itu dengan Qaddafi?
Ya, kami dan tokoh-tokoh Yahudi Libya lainnya sudah berusaha menyelesaikan persoalan ini selama 35 tahun tanpa hasil, hanya janji-janji kosong.
Sejauh ini, berapa jumlah orang Yahudi yang ingin pulang ke Libya?
Saya tidak tahu, tapi pastinya beberapa ribu orang. Jumlah seluruh orang Yahudi asal Libya di seluruh dunia hampir 120 ribu.
Apakah benar soal selentingan yang menyebutkan Qaddafi keturunan Yahudi?
Saya selalu mendengar rumor semacam ini, tapi saya tidak tahu benar atau tidak.