TEMPO Interaktif, Washington - Jose Antonio Vargas telah menulis banyak hasil karya yang menempatkan dirinya dalam sorotan, termasuk penembakan Virginia Tech yang membuatnya memenangi Pulitzer.
Tapi, mungkin karya terbesarnya adalah karya yang bisa membuatnya di posisi yang paling genting--tulisan New York Times Magazine yang menjelaskan dan mendokumentasikan hidupnya sebagai imigran gelap.
"Saya berlari. Saya lelah. Saya tak menginginkan kehidupan itu lagi," tulisnya dalam esai pribadi. "Jadi, saya memutuskan untuk maju, sendiri, sampai apa yang telah saya lakukan, dan menceritakan kisah saya yang terbaik dari ingatan saya. Saya mendatangi mantan bos dan majikan dan meminta maaf karena menyesatkan mereka."
Ia mengakui apa yang terjadi bisa membuatnya dideportasi. "Saya tidak tahu apa konsekuensi menceritakan kisah ini," tulisnya.
Artikel itu telah memicu diskusi online tentang keputusan seseorang terbuka ke publik dan mengatakan mereka adalah imigran gelap. "Kami senang menerbitkan karya ini, yang kami percaya adalah sebuah karya jurnalisme yang sangat provokatif dan bagus," kata seorang juru bicara New York Times kepada CNN.
Vargas, yang datang dari Filipina ketika berumur 12 tahun, telah menghabiskan sebagian besar hidupnya terbang di bawah intaian dengan menggunakan dokumen dan nomor Jaminan Sosial palsu. Ia bahkan pernah memberi Secret Service sebuah nomor Jaminan Sosial yang diperoleh secara ilegal, sehingga ia bisa menghadiri makan malam Gedung Putih.
Meski ia pemenang Pulitzer, kisahnya mirip dengan setiap imigran ilegal di Amerika, yang hidup dalam ketakutan akan ketahuan setiap saat.
Dalam karyanya itu, dia mengatakan ketakutan itu konstan. Vargas berusaha bergerak maju dalam karier profesionalnya, bekerja keras di koran-koran besar di seluruh negeri termasuk The Washington Post, di mana ia memenangi Pulitzer-nya. Dia menceritakan tentang kesulitan saat meraih sukses dengan memastikan bahwa hanya orang-orang kunci yang tahu tentang statusnya.
"Saya berusaha berdiri di ruang berita yang sangat kompetitif. Tapi, saya takut, jika saya terlalu menonjol, saya akan mengundang pengawasan yang tidak diinginkan," tulisnya.
Kemudian menjadi lebih sulit bagi Vargas saat program e-Verify diajukan di legislatif. Program yang dibuat oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri, itumengharuskan calon pekerja secara hukum memenuhi syarat untuk bekerja.
Untunglah, rancangan itu gagal di Kongres, sehingga memungkinkan dirinya dan orang lain yang masuk ke perguruan tinggi atau bertugas di militer menjadi warga negara. Dan karena dia gay, ia juga tidak memiliki pilihan untuk menikahi warga negara Amerika.
CNN | ERWIN Z