Kasus ini sekarang sedang dibahas di Mahkamah Agung Inggris. Isunya dimulai saat ke sekolah menengah Yahudi terkemuka, Jews' Free School, menolak para siswa karena dianggap "kurang" Yahudi.
Sekolah itu berdiri pada 1732 dan menjadi salah satu lembaga Yahudi dihormati di wilayah London utara. Murid sekolah itu 1.900 dan pendaftarnya jauh lebih banyak lagi.
Berdasarkan peraturan sekolah, hanya murid Yahudi--dengan yakni yang beribu Yahudi--bisa diterima. Seorang siswi, hanya disebut namanya sebagai "M" ditolak karena ibunya semula bukan Yahudi.
Ibu M pindah ke Yahudi, ikut suaminya. Tapi, saat pindah ke Yahudi, ia disahkah oleh sinagoga sinagoga bermazab liberal. Padahal sekolah dikendalikan oleh mazab Ortodoks yang tidak mengakui sinagoga liberal. Artinya, si ibu bukan Yahudi dan anaknya, berarti, bukan Yahudi juga.
"Karena ibu M berpindah agama di sinagoga progresif, bukan Ortodoks, maka ia tidak Yahudi," ungkap pihak sekolah. "Karena itu ia, maupun anaknya, juga bukan Yahudi."
Baca Juga:
Karena bukan Yahudi, sekolah kemudian menolak. Tapi keluarga M kemudian melakukan gugatan. Di pengadilan, keluarga M kalah, tapi pengadilan banding memenangkan mereka pada pertengahan tahun lalu.
Menurut pengadilan banding, kebijakan pihak sekolah itu dianggap diskriminatif terhadap ras ras atau etnis, bukan agama, karena si anak diterima berdasarkan agama ibunya. Jika keputusan sekolah dianggap karena agama, tidak masalah. Tapi jika dianggap karena soal ras atau etnis, maka tidak sah.
Persoalannya sekolah, menurut pengadilan banding, tidak mendasarkan keputusan pada apakah M itu Yahudi atau mempraktekkan ajaran Yahudi tapi masalah ibunya. Apakah ibunya Yahudi atau tidak. Jika peraturannya seperti ini, kata Mahkamah Agung, bisa dianggap keputusan karena soal ras atau etnis.
"Persyaratakan bahwa apakah seorang murid diterima itu berdasarkan bahwa ibunya harus Yahudi--baik lewat keturunan atau konversi--bisa dianggap seleksi berdasarkan etnis yang bertentangan dengan UU Hubungan Ras," ungkap pengadilan banding.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa cukup fair jika sekolah Yahudi memberi pintu lebih lebar pada anak Yahudi, tapi kriteria pendaftaran tidak boleh karena hubungan keluarga. Kriteria, katanya, "Harus pada kepercayaan, apapun definisinya."
Mahkamah Agung kemudian menyatakan bahwa sekolah Kristen, sebagai contoh lain, juga tidak boleh menolak murid dengan alasan orang tuanya Yahudi meski si murid itu mempraktikkan ajaran Kristen.
Sekolah menolak keputusan sidang banding membawa masalah ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung diperkirakan akan memberi keputusan sebelum akhir tahun ini. Sidang di Mahkamah Agung sendiri sudah selesai akhir bulan silam.
Keputusan ini bisa berpengaruh tidak hanya bagi sekitar 300 ribu warga Yahudi di Inggris, tapi juga sekolah-sekolah swasta berdasar agama lain.
NYT/NURKHOIRI