TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden Timor Leste Ramos Horta menuding para anggota Dewan Keamanan PBB "munafik". Pasalnya, Ramos menilai negara-negara Dewan Keamanan PBB tidak akan pernah mendukung Pengadilan Internasional Timor Timur.
Ramos menilai negara kecil seperti Timor Leste (dulu Timor Timur) yang baru dikecamuk konflik tidak bisa mengejar keadilan dengan mata tertutup seperti keinginan beberapa anggota PBB. Menurut Ramos, penyelesaian lewat Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang dibentuk antara Timor Leste dengan pemerintah Indonesia sudah cukup.
Ramos sendiri menuai kritik dari dalam maupun luar negeri karena dinilai tidak mengadili para dalang kerusuhan berdarah di Timor Timur pada 1999. Menurut Ramos, dirinya menghentikan keinginan untuk menggelar pengadilan internasional setelah Indonesia menarik diri dari Timor Leste.
Penghentian itu dilakukan karena rasa hormat terhadap Indonesia yang bergerak menuju demokrasi. Selain itu, Timor Leste butuh hubungan baik dengan Indonesia sebagai negara tetangga.
Ramos menyadari bahwa negara-negara barat masih menuntut agar digelar pengadilan internasional terkait kasus kerusuhan 1999 di Timor Timur. Namun, ia menilai negara Barat "munafik" dengan desakan pengadilan internasional.
"Jika saya terlalu naif, saya mungkin akan mengunjungi mereka di Washington, Oslo, London dan meminta mereka mendukung resolusi di Dewan Keamanan untuk membentuk pengadilan internasional. Tetapi saya rasa mereka hanya menggertak. Mereka tidak akan mendukung itu," ujar Ramos kepada BBC.
"Akan tetapi, mereka memang memiliki kemunafikan luar biasa dengan mengajari kami tentang keadilan tapi mereka sendiri tidak pernah mendukung pengadilan internasional di Timor Timur," tambah Ramos.
Bahkan, menurut Ramos, di negara pascakonflik seperti Timor Leste, pengadilan kriminal tidak digelar dengan tanpa pandang bulu. Sebab, terkadang ketentraman di sana harus diciptakan dengan rekonsiliasi ketimbang proses peradilan. Artinya, para individu korban disarankan memaafkan ketimbang menuntut balasan.
"Dalam situasi seperti kami, maaf merupakan sebuah keniscayaan bagi individu yang jadi korban agar bisa melanjutkan hidup mereka. Tetapi sebelum ia memaafkan, kebenaran harus diakui, tanggung jawab harus dipikul, dan setelah itu korban bisa merasa lega dan bisa memaafkan," ujar Ramos.
Kendati demikian, ada pihak di Timor Leste yang menentang kebijakan Ramos. Sekitar 1.500 orang tewas saat dan setelah jajak pendapat 1999. Namun, dalang kerusuhan tersebut tidak pernah diadili.
Awal tahun ini, Ramos memberi grasi kepada beberapa anggota milisi yang dihukum karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Grasi tersebut menuai protes dari PBB dan beberapa warga Timor Leste.
BBC| Kodrat Setiawan