TEMPO.CO, Jakarta -Perlawanan terhadap fasisme Jerman pada 1940-an melibatkan beberapa aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda. Mereka saat itu juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah seorang aktivis itu bernama Djajeng Pratomo. Ia tinggal di Belanda. Djajeng pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Dachau, Muenchen. Kamp Dachau disebut-sebut kamp konsentrasi Nazi yang paling kejam dan banal. (Baca: Kisah Djajeng Pratomo di Kamp Nazi ( Bagian 1 )
Di kamp ini terdapat banyak fasilitas penyiksaan seperti ruang gas, rumah krematorium dengan tungku pembakaran mayat dan alat siksa beraliran listrik. Ribuan mayat ditumpuk tiap hari sehingga orang harus menggunakan tangga untuk meletakkan mayat di bagian teratas.
Djajeng pada 22 Februari lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Di usianya yang seabad itu, Lea Pamungkas dari Tempo menggali kisah aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia dan bagaimana ia bertahan untuk hidup di Kamp Konsetrasi Dachau. Berikut tulisan kedua dari lima tulisan yang disajikan disini.
Satu hari di toko buku di Rotterdam, Belanda, sepasang mata Djajeng tertarik pada satu sosok gadis yang sedang melihat buku-buku tentang Indonesia. "Kami berdiri bersebelahan di depan etalase yang dipenuhi buku tentang Indonesia," kata Djajeng. (Baca: Djajeng, Pintar Menari (Bagian 3)
Saat gadis itu berlalu dari toko buku itu, Djajeng mengikuti hingga jembatan dan mengajak berkenalan. Stintje Gret yang saat itu berusia 18 tahun, menyambut perkenalan itu. Stennie, sapaan untuk Stintje Gret, adalah penari balet dan tertarik pada tarian Jawa. Setelah pertemuan itu, hubungan keduanya semakin erat sebagai sepasang kekasih.
Baca Juga:
Aktivitas Djajeng memperjuangkan kemerdekaan Indonesia mendapat simpati dari koran Partai Komunis Belanda De Waarheid. Stennie mendukung perjuangan Djajeng. Namun, tidak mudah bagi Djajeng dalam menjalankan aktivitasnya. Untuk mengurangi resiko atas aktivitas bawah tanahnya, Djajeng dipindahkan ke Den Haag.
Sayangnya alamatnya diketahui Sicherheits Dienst atau tentara Nazi setelah menangkap Stennie sebelumnya. Rumah Djajeng digerebek pada 18 Januari 1943. Djajeng dan rekannya, Moen Soendaroe ditangkap dan dijebloskan ke Kamp Konsentrasi Vught di Belanda Bagian Selatan.
Djajeng kemudian dipindahkan ke Dachau, Moen ke Kamp Neuengamme di Hamburg. Stennie ditahan di Vught lalu dipindah ke Kamp Ravensbruck. Tak lama kemudian Stennie dibebaskan. Begitu juga dengan Djajeng.
Djajeng kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Indonesia, sementara Stennie membentuk sebuah komite melawan pendudukan Belanda atas Indonesia. Dia tetap tinggal di Belanda dan diperbantukan di Kementerian Penerangan. Mereka berdua banyak terlibat dalam demonstrasi melawan pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia.
Pada 1947, keduanya menghadiri Wereldjeugfestival, Festival Pemuda Sedunia, di Praha. Mereka membawa bendera Indonesia yang baru dua tahun merdeka .Mereka pun melanjutkan perjalanan diplomasi budaya ke beberapa kota di Yugoslavia.
LEA PAMUNGKAS | DIAN YULIASTUTI
Baca Kisah Djajeng Pratama lainnya
Kisah Djajeng Pratomo di Kamp Nazi ( Bagian 1 )
Kisah Djajeng Pratomo dengan Gret (Bagian 2)
Djajeng, Pintar Menari (Bagian 3)
Tahanan 69053 Pengangkut Mayat (Bagian 4)
Cara Djajeng Menyelamatkan Diri (Bagian 5)