TEMPO.CO, Jakarta - Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955 adalah hajatan terbesar bagi Republik Indonesia yang baru merdeka. Panitia pontang-panting menyiapkan berbagai keperluan untuk melayani 1.500 tamu yang datang.
Setelah pinjam sana-sini, akhirnya panitia, yang dibantu mahasiswa dan alumnus Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN), dapat mengumpulkan 143 mobil sedan, 30 taksi, dan 20 bus.
Mobil sudah tersedia, masalah lain datang. Panitia lagi-lagi harus memikirkan kebutuhan bahan bakar. Dari perhitungan kasar, paling sedikit harus tersedia 30 ton bensin per hari. Jumlah itu masih ditambah 175 ton bensin sebagai cadangan selama lima hari acara tersebut berlangsung.
Pemasok bensin itu adalah Stanvac (Standard Vacuum Oil Company), perusahaan patungan antara Socony Vacuum Oil Company dan Standard Oil, yang nanti menjadi Exxon Mobil.
Panitia semakin mumet beberapa hari menjelang KAA dibuka. Stanvac, yang semula berjanji menyediakan bensin, melapor ke Sekretaris Jenderal KAA Roeslan Abdulgani bahwa mereka tak bisa memenuhi komitmen itu. Alasannya, ada masalah teknis.
Roeslan tak begitu saja menerima alasan itu. Dia menghardik direksi perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Rupanya, kemarahan Roeslan tersebut berhasil menekan Stanvac. Tak lama setelah itu, mereka menuntaskan instalasi minyak di Cirebon yang mampu menyimpan 800.000 liter bensin.
Saat hampir bersamaan, empat unit pompa bensin baru selesai dibangun di Bandung. "Ini setelah ada pleteran dari pihak kita," tulis Roeslan dalam bukunya, The Bandung Connection.
Dosen Hubungan Internasional Unair: Indonesia Bisa Ajak Negara Peserta KAA untuk Tekan Israel
24 November 2023
Dosen Hubungan Internasional Unair: Indonesia Bisa Ajak Negara Peserta KAA untuk Tekan Israel
Rumah Sakit Indonesia di Gaza berada dalam kondisi luluh lantah akibat serangan oleh Israel, peristiwa tersebut pun turut direspon oleh Dosen HI Unair.