Warga Paris tengah mengantri koran Charlie Hebdo, 14 Januari 2015, permintaan terhadap koran tersebut meningkat semenjak serangan terhadap kantor berita tersebut. Charlie Hebdo merupakan kantor berita, yang diserang sekelompok teroris pada 7 Januari 2015. Christopher Furlong/Getty Images
TEMPO.CO, Paris - Maurice Sinet atau lebih dikenal dengan nama samaran Sine dituduh "menimbulkan kebencian rasialis" setelah menulis sebuah kolom dalam tabloid mingguan satire Charlie Hebdo. Tuduhan ini menimbulkan debat sengit di kalangan intelektual Paris, yang akhirnya menyebabkan Sine dipecat pada 27 Januari 2009. (Baca: OKI Kutuk Serangan CharlieHebdo)
Peristiwa ini terjadi saat Jean Sarkozy, putra Nicolas Sarkozy, bertunangan dengan pengusaha barang elektronik, Jessica Sebaoun-Darty, yang berdarah Yahudi-Prancis. Mengomentari rumor tak berdasar bahwa putra Presiden Prancis kala itu berencana pindah agama menjadi Yahudi, Sine menyindir, "Anak kecil itu akan sukses." (Baca: Cetak Ulang Kartun Nabi, Surat Kabar Jerman Diteror)
Editor Charlie Hebdo, Philippe Val, segera menyuruh Sine untuk meminta maaf. Namun Sine menolaknya. Keputusan Val untuk memecat Sine didukung oleh sekelompok intelektual terkemuka, termasuk filsuf Bernard-Henry Levy. Tetapi kubu liberalis sayap kiri membelanya dengan alasan kebebasan berpendapat. (Baca: Kartunkan Muhammad, CharlieHebdo Dikritik Obama)
Sejumlah pria menembak kantor redaksi majalah satire Charlie Hebdo pada Rabu, 7 Januari 2015, setelah mencuit kartun pemimpin kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah. Namun bukan itu alasan penembak. Mereka membalas dendam karena media itu pernah memuat kartun Nabi Muhammad pada edisi November 2011. Charlie Hebdo beralasan karya jurnalistik mereka sebagai ekspresi kemerdekaan pers dan berpendapat.